Ratifikasi RCEP Indonesia Terlambat, Nevi Zuarina: Ada Jeda dari Persetujuan Awal Hingga Pembahasan di DPR

06-01-2022 / KOMISI VI
Anggota Komisi VI DPR RI Nevi Zuairina. Foto: Oji/nvl

 

Anggota Komisi VI DPR RI Nevi Zuairina menanggapi lambatnya negara Indonesia dalam meratifikasi  Perjanjian perdagangan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (Regional Comprehensive Economic Partnership atau RCEP) dikarenakan terlalu jauhnya jarak waktu antara persetujuan RCEP yang disetujui pemerintah periode sebelumnya yakni pada November 2011 dengan pembahasan antara Komisi VI DPR RI dengan Kementerian Perdagangan yang membahas masalah RCEP pada 25 agustus 2021 lalu. 

 

“RCEP disetujui awal pada November 2011, sedangkan peluncurannya pada November 2012. Pada tahun berikutnya, perundingan pertama di Brunei  Mei 2013, sedangkan penandatanganan persetujuan  RCEP 15 november 2020. Pelimpahan dokumen ratifikasi pada januari 2021, dan Raker Kementerian Perdagangan dengan Komisi VI pertama kali membahas masalah RCEP 25 Agustus 2021.  Raker berikutnya dengan bahasan yang sama antara  Komisi VI DPR RI dengan  Kementerian Perdagangan  pada pembahasan RCEP yang kedua pada 13 Desember 2021," urai Nevi, Kamis (6/1/2022).

 

Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini akan mendorong, agar ratifikasi RCEP ini di Kuartal satu tahun 2022 dapat segera selesai. "Jangan sampai Indonesia menjadi satu-satunya negara ASEAN yang belum meratifikasi dengan jangka waktu yang terlalu lama. Pemerintah harus segera mengirimkan draf RUU nya ke DPR RI bulan ini  untuk nantinya dibahas oleh DPR dalam masa persidangan bulan Januari 2022 ini," tuturnya. 

 

Sebagai catatan, Nevi meminta agar pemerintah perlu memperbanyak program untuk meningkatkan daya saing pelaku usaha UMKM dan meningkatkan kemampuan usaha para pelaku usaha UMKM sehingga mereka bisa melakukan ekspor produknya. Selanjutnya ia juga mendorong agar ada percepatan pembangunan infrastruktur komunikasi yang ini juga berimplikasi pada dorongan percepatan penyelesaian RUU Pelindungan Data Pribadi dikarenakan akan semakin banyak transaksi yang akan menggunakan e-commerce.

 

 “Yang perlu selalu diperhatikan dalam setiap melakukan perjanjian kerja sama perdagangan adalah sejauh mana perlindungan yang akan diberikan negara kepada para pelaku industri kecil. Jangan sampai masuknya para investor dan produk dari luar negeri berakibat semakin sulitnya pelaku UMKM dan pelaku industri dalam negeri untuk menjual produknya di negeri sendiri. Pemerintah perlu memperbanyak program yang membuat rakyat bangga menggunakan produk dari negerinya sendiri," tutup legislator asal Sumatera Barat ini. (dep/sf)

BERITA TERKAIT
Asep Wahyuwijaya Sepakat Perampingan BUMN Demi Bangun Iklim Bisnis Produktif
09-01-2025 / KOMISI VI
PARLEMENTARIA, Jakarta - Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir berencana akan melakukan rasionalisasi BUMN pada tahun 2025. Salah...
147 Aset Senilai Rp3,32 T Raib, Komisi VI Segera Panggil Pimpinan ID FOOD
09-01-2025 / KOMISI VI
PARLEMENTARIA, Jakarta - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkapkan raibnya 147 aset BUMN ID Food senilai Rp3,32 triliun. Menanggapi laporan tersebut,...
Herman Khaeron: Kebijakan Kenaikan PPN Difokuskan untuk Barang Mewah dan Pro-Rakyat
24-12-2024 / KOMISI VI
PARLEMENTARIA, Jakarta - Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen akan mulai berlaku per 1 Januari 2025. Keputusan ini...
Herman Khaeron: Kebijakan PPN 12 Persen Harus Sejalan dengan Perlindungan Masyarakat Rentan
24-12-2024 / KOMISI VI
PARLEMENTARIA, Jakarta - Anggota Komisi VI DPR RI Herman Khaeron menyoroti pentingnya keberimbangan dalam implementasi kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai...